Monday, July 26, 2021


SILUET CINTA SEBUAH PARTAI DAKWAH

“Sesuatu yang sudah kamu mulai karena Allah, kenapa harus berakhir karena manusia?”

Sekitar tahun 2004, ketika masih memakai seragam putih abu abu dan duduk di kelas 2 SMA, saya mengenal sosok-sosok lembut nan pintar yang kerap hadir pada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang dinamakan Rohis. Pada awalnya, saya hanya tertarik untuk mulai berhijab saja, tidak ingin kemudian aktif menjadi aktivis dakwah sekolah seperti yang kemudian terjadi setelahnya.

Saat itu Rohis masih merayap, mulai dari hanya berempat, berlima, bahkan tak jarang saya hanya berduaan dengan sang kakak pementor, karena tidak ada yang mau hadir di kegiatan rohis di mushollah sekolah itu. Teman- teman lebih suka pulang lebih cepat dan menonton serial korea Full House yang saat itu sedang booming-boomingnya. Saya ingat sekali satu- satunya teman saya yang kerap mendampingi hadir di kegiatan Rohis, kemudian juga ikut berhijab dan berjuang bersama, kini beliau menetap di Pekanbaru, hafizhah 30 juz dan menjadi istri dan imam besar di salah satu masjid di pekanbaru. (semoga Allah melindunginya dimanapun berada)

Tidak ada hal yang luput dari ingatan saya tentang perjalanan dakwah sekolah, lulus sekolah sampai masa kini, semua masih terekam indah dan membekas keras. Dari halaqoh-halaqoh (pembinaan rohani) yang kami sebut lingkaran cinta itu, banyak sekali hal yang dibahas, mulai dari ilmu-ilmu agama seperti fiqh, akidah akhlak, ilmu Al Quran dan sejenisnya, sampai ilmu muamalah dan Negara. Kurang lengkap apa coba?

Dari sanalah saya mengenal partai dakwah, saya menyebutnya begitu karena saya tidak mengenal partainya dulu baru orang-orangnya, tapi sebaliknya. Bertahun berkecimpung dalam dakwah sosial dan sekolah barulah saya ngeh bahwa kakak-kakak yang baik hati itu ternyata bergabung dalam sebuah partai. Pada masa itu saya tak faham apa itu partai, tapi bersama mereka saya terlebih dahulu mengenal persaudaraan, cinta kasih karena Allah, semangat dakwah kepada siapa saja, dan saling tolong-menolong dalam kebaikan. Partai hanya sebuah wadah, hanya sebuah fisik saja, dia dijalankan oleh para motor penggerak yang solid dan punya tenaga kuda karena Allah saja.

Saya besar dalam kawah dakwah di tanah batak, Sumatera Utara. Melewati berbagai moment-moment kebersamaan yang tidak mungkin dilupakan begitu saja. Mulai dari club-club dakwah sosial dan sekolah, bidang-bidang di DPD, sampai masa-masa pilkada, pileg, pilgub dan pilpres, lengkap dengan warna-warninya. Besar dalam watak keras tanah batak ternyata banyak pengaruhnya dalam kehidupan saya. Partai ini mengajarkan banyak cinta dan semangat, juga ikhlas yang tak harus berbalas. Jadi kalau kamu menginkan imbalan, jualan saja sana, jangan bergabung disini. Karena disini, tidak ada yang akan memberikan imbalan, semua hanya memberi, tidak pernah meminta kembali. Begitu kira-kira pesannya.

Setelah menjadi istri orang Malang, maka halaqoh saya otomatis juga berpindah. Hal pertama yang saya lakukan saat pertama kali menginjakkan kaki untuk menetap di Malang adalah, mencari halaqoh baru. Memulai hal baru di tempat yang benar- benar asing ini pastilah sulit. Tidak ada yang saya kenal selain suami dan keluarga besar. Maka dengan batuan suami, saya akhirnya menemukan saudara baru, yang ketika awal pertama kali bertemu pun sudah menganggap saya saudara dekat. Maka setelah itu, agak lapanglah hati saya, sudah menemukan teman.

Lalu partai? Tentu masih sama. Tidak ada yang berubah dan berkurang cintanya hanya karena badai kecil. Pernah ada badai? Pasti pernah, namanya juga isinya manusia semua. Tidak ada yang sempurna dan luput dari salah. Partai  ini isinya melulu bercerita dan meminta diri untuk bergerak untuk ummat, melakukan hal sekecil apapun yang bisa dilakukan untuk orang lain. Sebarlah kebaikan, walau hanya menyingkirkan batu dari tengah jalan. Seperti itulah kira-kira. Lalu apa hanya sekedar menyingkirkan batu dari tengah jalan? Itu hanya hal terkecil, lantas bagaimana dengan hal terbesar? Yang terbesar adalah  berjuang di parlemen dan Negara. Dan ini dilakukan oleh para kader mumpumi yang sudah diamanahi oleh partai dan tentunya para konstituen.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) namanya. Lalu apa saja yang sudah Partai itu lakukan? Maka coba carilah beritanya di media cetak maupun elektronik. Apakah perjalanan partai yang sudah dimulai sejak era reformasi di tahun 1998 sampai kini, menjadi surut dan berkabut?  Dalam pemilu 2004, partai ini mendapat 7,3% dukungan suara nasional, melonjak dari perolehan suara pada pemilu sebelumnya yang hanya 1,36%. Pada pemilu  2009, PKS mendapat suara keempat terbanyak dan kemudian meluas keseluruh daerah di Indonesia. Kemenangan PKS dalam mengusung pemimpin daerah mulai dari bupati dan gubernur yang diusung melalui kaolisi maupun sendiri, menjadikan PKS partai yang diperhitungkan dan sempat menjadi topik pembahasan dimana-mana.  Dominasi partai-partai besar seperti Golkar dan PDI Perjuangan perlahan-lahan mulai di goyang dengan kehadiran partai dakwah ini. Bahkan sampai saat ini, ketika PKS menjadi salah satu partai oposisi pemerintah, kehadirannya bisa membuat gerah.

PKS sendiri memiliki sistem kaderisasi yang solid, yang tidak dipunyai oleh partai manapun yang kebanyakan berbasis massa. Pembinaan yang wajib didapatkan semua kadernya secara berjenjang, menjadikan semua kadernya bukan hanya solid, tapi juga mumpuni ketika terjun ke masyarakat. Saya yang sudah bergabung selama kurang lebih 16 tahun tentu juga mengalami bagaimana alur terjal  yang dihadapi ketika terjun dalam perencanaan partai dan ketika berada di tengah – tengah masyarakat.  

Para kadernya juga berdinamika. Ada yang yang keluar dan memilih tidak memakai simbol partai lagi, ada yang ikut halaqoh (ngaji) tapi tak mau terlibat sama sekali dengan kegiatan partai, ada yang suka ngomong partai tapi jarang ikut ngaji, ada tim sorak sorai dan pemantau dari balik layar, ada yang memilih terjun dan bergumul dengan keadaan. Semua ada, karena kita manusia. Namun tak pernah di buat masalah, yang utama adalah semua mau berkontribusi dengan cara dan kemampuannya masing-masing.

Lalu, apa saya sendiri pernah merasa lelah dan menarik diri? Tentu pernah.

Ada sebuah moment yang tidak bisa saya ceritakan disini, membuat saya memilih jeda. Namun,  nasehat diatas selalu terngiang-ngiang di kepala saya.  “Sesuatu yang sudah kamu mulai karena Allah kenapa harus berakhir karena manusia? Singkat tapi amat menohok. Saya memilih jeda untuk bermuhasabah tentang dosa dan kesalahan, tapi tidak berniat meninggalkan.

Karena bagaimana mungkin saya bisa meninggalkan separuh jiwa dan hidup saya yang besar bersamanya? Semoga Allah selalu melindungi para guru-guru saya, saudara-saudara seperjuangan saya dan semua orang yang pernah saya kenal dan berbuat baik kepada saya, maafkan semua kesalahan saya dan semoga Allah membalas kebaikan antunna sekalian.

Kamu gak penasaran? Gak pengen gabung?



Salam ukhuwah karena Allah

Zainab Al Kautsar


 

 

 

 

 

Saturday, January 5, 2019

GUMAM

Mari namai saja catatan ini dengan "gumam". Sesuatu yang diucapkan tapi tidak jelas didengar oleh orang di dekatnya. Anggap saja ini sebuah ketidak jelasan untukmu yang membacanya, namun begitu jelas bagiku untuk menuliskan. Namun begitu pun semoga sedikit saja ada rasa yang tertinggal seusai nanti kau meninggalkan tulisan ini.

Dalam beberapa waktu belakangan, kerap timbul banyak gumaman di benak ini. Setiap waktu berganti topik, hingga ingatan menjadi kelimpungan menampung. Akhirnya semua menjadi penghuni ruang gelap paling dasar, tempatku menyembunyikan segala kenangan.

SAHABAT

Dulu, ketika banyak yang melingkari dengan menjual nama cinta dan tuhan, aku menganggap mereka adalah sahabat. Seseorang yang kupercaya dalam suka dan duka, mau tak mau menerima baik dan bobroknya diri. Seiring berjalannya waktu dengan berbagai peristiwa, aku mencatat satu hal. Tidak ada yang benar benar tinggal di sisi badan selain sepi dan kenangan. Tunggu, aku sedang tidak membicarakan tentang si(apa) dan kesalahannya, bukan tentang gurat gurat kecewa di wajah mereka atau di wajahku. Aku hanya ingin menekankan, sungguh bersiaplah untuk sendirian jika manusia menjadi harapan.

Dan aku adalah seorang sahabat yang amat buruk perangai dan akhlak, maka jauhi saja aku. Dengan jarak yang mereka buat selama ini, setidaknya ini membuatku  terbiasa dengan sepi. Tapi tetap saja, semua yang dulu pernah melingkari dan kini dia telah pergi  sewaktu waktu muncul dengan seenaknya saja. Pada moment moment tertentu, ia hadir sesukanya saja, menggeruduk tanpa ampun semua kenangan. Kamu tahu rasanya? ya begitulah, rasanya sungguh tidak enak. 

Sahabat. Jika kau pernah menamai seseorang sebagai sahabat, mungkin kamu salah. Atau aku yang salah? Ah tidak. Mungkin sahabatmu tidak seperti sahabatku. Sahabatmu yang dulu pasti masih menjadi sahabatmu yang sekarang. Mereka pasti masih membersamai dalam suka dan dukamu. Tidak seperti aku. 

Sahabat. Karena aku bukanlah sahabat yang baik buat sahabatku. Tidak sepertimu. Kamu pasti sahabat yang baik buat orang orang di sekitarmu. Hingga mereka tak pernah beranjak dari sisimu hingga kini. Maukah kau berbagi kisah denganku? 

kini? Tidak ada sahabat yang kekal di sisi. Semua berganti, semua berubah. Yang dulu begitu manis, kini bisa menjadi hambar apa adanya saja. Bertegur sapa ala kadarnya, komen komenan di sosial media seperti orang yang baru kenal kemarin saja. Ah, inilah prosesnya. Proses memahamkan diri bahwa yang yang sesungguhnya kekal disisi adalah SENDIRI. Setidaknya kesendirian akan mengajak diri untuk lebih dekat kepada kekasih sejati, Ilahi Robbi. Ikhlas? Harus. 

Gumam selanjutnya adalah tentang CINTA

Tapi aku ingin menuliskan ini di halaman berikutnya saja. 


kenapa aku selalu menyimpan gumam dalam tiap percakapan?
Mungkin karena aku sedang ingin menyembunyikan kenangan lebih dalam

(05/01/2019, Malang, menyibak ingatan)

Wednesday, December 5, 2018

LOST







Puisi puisiku kerap hadir dengan suara yang sama sekali tak jelas
Lambat laun aku sadar, duniaku ada yang hilang
Disergap rutinitas tangisan tangisan bocah, dapur, dan kasur, ia terkikis
Bukan aku tak cinta, aku hanya butuh waktu untuk bermesraan kembali
Dengan malam malam sepi
Dengan tangis 
Dengan Hujan
Dengan Awan
Dengan Alam
Dengan Ketidaksadaran...

Mungkin aku butuh pingsan sejenak
Agar jiwaku bisa memanggil Ruh itu dalam detak
Memanggil tiap diksi untuk bergerak

(Malang, aku masih sadar dan belum pingsan)

Thursday, July 7, 2016

Ketika Engkau Datang



Ketika kamu datang, aku tidak tahu siapa yang mengantarkanmu tiba disini. Entah karena aku kerap melangitkan harap pada hujan atau angin yang membuat jendela kamarku berderit itu. Aku tidak tahu pasti, tapi mungkin kau tidak datang dengan sendirinya, aku yakin ada yang menuntun tangan dan hatimu, ada suara-suara tak kasat mata yang berbisik mempengaruhi akalmu, hingga kau mau saja ada disini. Tempat yang ingin saja kutinggalkan untuk sementara waktu. Tempat yang jauhnya sekian lebarnya lautan. Aku baru saja ingin berkemas kala itu. Ketika ingin pergi itu datang, kehadiranmu menahan langkahku. Siapa kamu?

Ketika kamu datang, siapapun kamu, aku telah berjanji untuk tidak bertanya telah berapa banyak hati yang kau seberangi untuk bisa sampai kesini. Aku faham, jarak ini sudah teramat jauh kau lewati, tentu kau lelah bukan? Akan kubiarkan kau beristirahat, nimatilah hidupmu, jangan khawatirkan apapun, aku menguasai tempat ini.

Ketika kamu datang, aku menahan sekian banyak Tanya untuk kusampaikan, aku takut kau kelimpungan menjawabnya. Maklumlah, aku memang punya sifat buruk, selalu penasaran dengan apapun, termasuk padamu.
Ketika kamu datang banyak hal telah berubah, termasuk tulisan-tulisan ini.

Saturday, December 19, 2015

Tetaplah Ia (Hujan)

Mungkin bahasaku tidak sepuitis dulu, dalam menerjemahkan hujan setiap kali ia hadir.
Ada banyak hal yang berubah (mungkin), dalam beberapa kurun waktu berganti. Ada yang datang dan ada yang digantikannya ketika pergi.
Tapi tetaplah ia (hujan) menjadi cinta yang tak pernah lekang oleh masa manapun. Tidak ada yang menggantikannya, walau sajak tidak lagi selalu mewujudkannya.
 
Tentunya hanya hujan yang masih menyimpan doa-doa yang aku langitkan sejak dulu, beberapa kini hanya menjadi kenangan manis karena satu persatu berwujud nyata, sementara yang lain masih menunggu antrian diantara doa-doa para pecintaNya yang sedang sama menunggu.
 
Bulan kedelapan, di malam-malam yang hujan.
Walau kadang hanya bisa memandangnya lewat pintu dan jendela, sebab ada alasan mengapa kini tidak lagi bisa sesuka hati bermandikan airnya, semua rasa dan cinta tetap sama.
Ia tetap hujan, yang menghadirkan cinta.
 
Bulan kedelapan, kini bersama hujan yang sama aku berbincang, beberapa masa kemudian pengalaman baru akan menantang, menjadi seorang ibu.
 
Ah, hujan, cinta.
Selalu saja menghadirkan sisi melankolis, ketika membersamainya berbincang.

 

Thursday, October 1, 2015

Bulan Ke Enam

Sudah bulan ke enam, purnama senantiasa purnama diantara dua mata. Bagi saya setiap retak di sisi tak mengurangi bentuk sempurnanya. Ketika ia retak sedikit saja, maka tak lama kemudian ia akan kembali utuh ke bentuknya semula, tanpa bekas apa-apa. Saya dan ia selalu berusaha menjadi dan memberi segenap cinta terbaik, pada kekasih terbaik. Sungguh, itu saja sudah lebih dari cukup buat saya untuk memulai langkah selanjutnya.

Bulan ke enam, begitu juga sebuah kehidupan yang ikut muncul bersama. Kadang saya masih amnesia bahwa kini akan teramat banyak cerita yang muncul setelahnya. Begitu juga bertambahnya usia serta amanah.

Bulan ke enam, tentu juga ada pekerjaan lain dari kehidupan sebelumnya yang  minta diselesaikan. Saya bukanlah tipykal manusia yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh, begitu banyak kecewa yang saya tinggalkan pada wajah wajah penuh cinta, sedangkan saya saat ini masih saja belum beranjak untuk memperbaikinya. Semoga, sebelum usia menutup segalanya, saya bisa memperbaikinya walau tak sempurna seperti sedia kala.






Bulan ke enam, Oktober yang hujan.